BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Negara Indonesia merupakan negara
berkembang yang berada dalam taraf halusinasi menuju industrialisasi tentunya
akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat /mobilitas masyarakat yang
meningkat otomatisasi terjadi peningkatan penggunaan alat-alat transportasi
/kendaraan bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan.
Sehingga menambah “kesemrawutan” arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak
teratur dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan
bermotor. Kecelakaan tersebut sering kali menyebabkan cidera tulang atau
disebut fraktur. Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Berdasarkan data
dari rekam medik RS Soegiri di ruang Orthopedi periode Juli 2011 s/d Desember
2012 berjumlah 323 yang mengalami gangguan muskuloskletel, termasuk yang
mengalami fraktur panggul atau pelvis presentase sebesar 5% dan fraktur femur
sebesar 20%. Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur
adalah dengan mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode
mobilisasi fraktur adalah fiksasi Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001
: 2361). Penanganan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Komplikasi umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu penekanan lokal, traksi
yang berlebihan dan infeksi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian Fraktur?
2.
Etiologi Fraktur?
3.
Anatomi Fisiologi Fraktur?
4.
Patofisiologi Fraktur?
5.
Pathway?
6.
Manifestasi Klinis?
7.
Pemeriksaan Penunjang?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian fraktur.
2.
Mengetahui etiologi fraktur.
3.
Mengetahui anatomi fisiologi fraktur.
4.
Mengetahui patofisiologi fraktur.
5.
Mengetahui pathway fraktur.
6.
Mengetahui manifestasi klinis.
7.
Mengetahui pemeriksaan penunjang.
BAB
II
LAPORAN
PENDAHULUAN
A. Definisi
Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan
luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh
darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar
dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001). Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya fraktur terjadi jika
tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur
dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan
bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2002).
Fraktur
adalah patahnya tulang, yang biasanya dialami hewan kecil akibat kecelakaan,
terjatuh dan luka (Bleby & Bishop, 2003). Fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2005).
B. Etiologi
1. Trauma
langsung/ direct trauma
Yaitu
apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
(misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).
2. Trauma
yang tak langsung/ indirect trauma
Misalnya
penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada
pegelangan tangan.
3. Trauma
ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/
ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini
disebut dengan fraktur patologis.
4. Kekerasan
akibat tarikan otot
Patah tulang
akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran,
penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan
C. Anatomi Fisiologi Fraktur
1.
Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang
berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis”
menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”.
Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium. Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat
diklasifikasikan dalam lima
kelompok berdasarkan bentuknya :
a.
Tulang panjang
(Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal
panjang yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis.
Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara
epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang
disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang
panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan
digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan
tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis
dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun
remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti
tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang
pertumbuhan tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang
fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang
disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum
tulang.
b.
Tulang pendek
(carpals) bentuknya tidak teratur dan
inti dari cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
c.
Tulang pendek datar
(tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang
padat dengan lapisan luar adalah tulang concellous.
d.
Tulang yang
tidak beraturan (vertebrata) sama seperti
dengan tulang pendek.Tulang sesamoid merupakan tulang kecil,
yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung
oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel,
matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas tiga jenis
dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan
tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks
tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan,
asam polisakarida) dan proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana
garam-garam mineral anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel
dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak
dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear
( berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling
tulang.
Osteon merupakan unik fungsional
mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon terdapat kapiler.
Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang dinamakan lamella.
Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui
prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal
yang menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1
mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh
membran fibrous padat dinamakan periosteum. Periosteum memberi
nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan
tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh
darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung
osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang
panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast ,
yang melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum
dan dalam lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang).
2.
Fisiologi Tulang
Fungsi tulang
adalah sebagai berikut :
a. Mendukung
jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
b. Melindungi organ tubuh
(misalnya jantung, otak, dan paru paru) dan jaringan lunak.
c. Memberikan
pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan pergerakan).
d. Membentuk
sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema
topoiesis).
e. Menyimpan garam mineral, misalnya
kalsium, fosfor.
D. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan
lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan
tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang
segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis
ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi,
eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah
yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa
sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya
fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan
kepadatan atau kekerasan tulang.
F.
G.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang
dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
- Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
- Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
- Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
- Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
- Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua
tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak
ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan
saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala,
tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan
mengalami cedera pada daerah tersebut.
H. Pemeriksaan
Penunjang
1.
X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau
keadaan tulang yang cedera.
2.
Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3.
Arteriogram :
dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4.
CCT kalau
banyak kerusakan otot.
5.
Pemeriksaan Darah Lengkap
Lekosit
turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah
akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan
lunak sangat luas, Pada masa penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, traumaa
otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan
dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah hati.
I. Pengkajian
Pengkajian
merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga
dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan
Data
a. Anamnesa
1) Identitas
Klien
Meliputi
nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan
Utama
Pada umumnya keluhan utama pada
kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik
tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking
Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi
nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa
nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah
rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa
sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh
rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung,
kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat
Penyakit Sekarang
Pengumpulan
data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu
dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang
terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui
mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat
Penyakit Dahulu
Pada pengkajian
ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama
tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
5) Riwayat
Penyakit Keluarga
Penyakit
keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering
terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan
secara genetik
6) Riwayat
Psikososial
Merupakan
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7) Pola-Pola
Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup
Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
klien melakukan olahraga atau tidak
b) Pola
Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien
fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola
Eliminasi
Untuk kasus
fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri
dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua
pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
d) Pola
Aktivitas
Karena
timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain
yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain
e) Pola
Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien
harus menjalani rawat inap
f) Pola
Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang
timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
g) Pola
Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat
fraktur
h) Pola
Reproduksi Seksual
Dampak pada
klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya
i) Pola
Penanggulangan Stress
Pada klien
fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
j) Pola Tata
Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien
b. Pemeriksaan
Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
1) Gambaran
Umum
Perlu
menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang
dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(1) Kesadaran
penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan
klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
baik fungsi maupun bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai
kelamin
(1) Sistem
Integumen
Terdapat
erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2) Kepala
Tidak ada
gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri
kepala.
(3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
(4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
(6)Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(8) Mulut
dan Faring
Tak ada
pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(10) Paru
(a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c) Perkusi
Suara ketok
sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti
stridor dan ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak
iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan
S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(c) Perkusi
Suara thympani,
ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada
hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2) Keadaan
Lokal
Harus
diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutamamengenai status
neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor,
Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look
(inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun
buatan seperti bekas operasi).
(2) Cape
au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
(6) Posisi
dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel
(palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu
dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary
refill time Normal > 3 detik
(2) Apabila
ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian.
(3) Nyeri
tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah,
atau distal).
Otot: tonus
pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau
melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila
ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau
tidak, dan ukurannya.
c) Move
(pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah
melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas
dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup
gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai
dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2. Pemeriksaan
Diagnostik
a. Pemeriksaan
Radiologi
Sebagai
penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar
rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral.
Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari
bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan
penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca
pada x-ray:
1) Bayangan
jaringan lunak.
2) Tipis
tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga
rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare
fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur
sendi.
Selain foto
polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu
struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada
kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu
struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan
cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan
jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning:
menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan
Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin
Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik
dalam membentuk tulang.
3) Enzim
otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c. Pemeriksaan
lain-lain
1) Pemeriksaan
mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab
infeksi.
2) Biopsi
tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas
tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat
kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan
jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada
pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua
kerusakan akibat fraktur.
BAB III
KESIMPULAN
Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan
luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh
darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar
dari yang dapat diabsorbsinya
DAFTAR
PUSTAKA
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan
medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan
edisi 6 . Jakarta: EGC
Doengoes, M.E., 2000, Rencana
Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di
Rumah, di Tempat Kerja, atau di Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya
Johnson, M., et all. 2000. Nursing
Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle
River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta
Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing
Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle
River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa
Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar